ADA keunikan warisan masa lampau, yang setiap malam tergelar di pusat perkotaan Garut. Denyut kehidupan malam di kota kecil ini, senantiasa menyatu dengan keberadaan Pasar Ceplak Garut, sebagai bagian peninggalan keramaian hari kemarin. Pasar jajanan serba ada di waktu malam, yang terhampar di badan Jl Siliwangi, berbatas lintasan Jl Ciledug dan Jl. Cikuray. Tepat berada di jantung kota Garut. Tak jauh dari kawasan sentra, yang populer disebut Pengkolan.
Sungguh pun tidak ada makanan atau minuman spesifik, Pasar Ceplak sangat menguatkan identitas kota. Bahkan, Garut tanpa Pasar Ceplak, laksana kota tanpa suara. Aksentuasi perkotaannya seakan larut ke dalam kebisuan. Tak ada atmosfer yang membangunkan romantika kehidupan warga kotanya. Padahal, di sekitar kawasan itu merupakan wilayah pertokoan modern, yang memanjakan suasana pusat perkotaan Garut.
Akan tetapi, modernisasi pertokoan itu tak mampu memburamkan pamor Pasar Ceplak, yang memang tidak berbatas waktu. Beralasan, tanpa kegiatan pasar jajanan itu, rona kehidupan malam di pusat kota Garut pun sunyi. Pasar Ceplak dengan suasana merakyat, menjadi tujuan semua lapisan warga Garut untuk lesehan. Puluhan pedagang berderet menjual beragam jasa makanan dan minuman, yang memadati emper serta badan jalan raya Siliwangi.
Ceplak, memang keunikan sebutan nama pasar! Awalnya menggelikan, karena sebutan itu lazim dimaknai orang Sunda, sebagai bunyi gerakan mulut saat mengunyah makanan. “Cuplak-ceplak” pun dipahami sebagai aksi makan seenaknya. Cara makan bergaya urakan, yang dinilai melawan adat tatakrama. Acapkali pula dianggap kampungan! Namun bunyi mulut dari para penyantap jajanan yang terkesan “cuplak-ceplak” itu, menginspirasi kelahiran nama pasar.
Padahal, tidak semua orang yang menyantap jajanan di situ membunyikan “cuplak-ceplak”. Tapi sebutan Pasar Ceplak pun mengembang, dan melegenda hingga kekinian. Umur Pasar Ceplak terus memanjang sebagai kawasan wisata kuliner Garut di waktu malam. Sebaliknya, aspek pendukung kelangsungannya seperti Bioskop “Garden”, dan “Odeon” di Jl Talagabodas (Jl A. Yani), berikut padepokan sandiwara Margaluyu di Jl Cikuray, tinggal cerita hari kemarin.
Pasar Ceplak di Garut yang memanjang sekitar 300 meter di badan Jl Siliwangi,lalu menjadi bagian dari kebutuhan warga setempat. Mereka bisa rekreasi, jalan-jalan bersama keluarga menyinggahi pusat jajanan malam. Itu lokasi keramaian malam milik Garut satu-satunya, yang kelangsungannya melintasi estafet kisah panjang warga setempat. Pasar Ceplak menjadi fenomenal. Tak seorang warga pun menduga, jika sejumlah warga pedagang bakal turun-temurun melestarikan “pasar malam” itu.
“Cuplak-ceplak pun dipahami sebagai aksi makan seenaknya. Cara makan bergaya urakan, yang dinilai melawan adat tatakrama. Acapkali pula dianggap kampungan! Namun bunyi mulut dari para penyantap jajanan yang terkesan “cuplak-ceplak” itu, menginspirasi kelahiran nama pasar”.
Jauh sebelum lokasi kegiatan usaha warga pedagang jajanan itu mencuat, hingga dikenal dengan Pasar Ceplak, hanya segelintir pedagang kecil mulai membuka kehidupannya di sekitar emper pembatas areal Alun-alun Garut, dan halaman depan hingga sebelah barat Masjid Agung. Pada putaran 1959, derap kegiatan itu berangsur memecah sunyi dalam keremangan malam, yang amat mendekap kerindangan Alun-alun Garut, berhias bangunan tua Babancong.
“Dulu cikal bakal Pasar Ceplak itu sempat populer dengan sebutan Pasar Kaum, karena berlokasi di dekat Masjid Agung. Meski jenis jajanan dan jumlah pedagangnya masih sedikit, tapi Pasar Kaum pernah memasyarakat” – Cerita alm Entar Karwita, mantan karyawan PN Pertani Garut. Kehidupan pedagang kecil di dekat Alun-alun Garut itu, makin menggoda naluri bisnis warga setempat. Di bawah kerimbunan pepohonan besar di sudut Alun-alun, lokasi pusat jajanan itu amat mengasyikkan kawula muda dan tua.
Margaluyu
Tak sedikit pengunjung datang berbondong-bondong, menikmati hidangan malam yang tersedia di situ. “Seingat saya, para pedagang mulai berjualan saat suasana bulan Ramadhan. Saban sore mereka menggelar jualan, menjemput orang-orang yang ‘ngabuburit’. Keramaiannya meningkat lagi setelah kegiatan shalat Tarawih di Masjid Agung” – Kenang Dedi Sunardi, pensiunan PNS di Kelurahan Pakuwon Garut. Terdukung lagi dengan keberadaan bioskop misbar!
Memang hanya direntang jarak 200 meter dari Alun-alun Garut, tergelar Bioskop “Garden”, sarana hiburan rakyat yang hanya bisa beroperasi malam hari. Maklum bioskop kelas misbar (gerimis turun, penonton bubar!) Garden pun laksana bioskop berbintang. Saat cuaca cerah, semua penonton film di gedung tanpa atap itu, leluasa memandangi langit bertabur bintang. Apa mau dikata, saat bulan bersinar terang, rangkaian gambar adegan film tampak memucat.
Semasa kejayaan bioskop rakyat itu, keramaian pasar jajanan Garut di malam hari makin mengembang. Keberadaan “bioskop berbintang” alias arena layar tancap permanen itu, membangkitkan rona keramaian pasar malam bagi pedagang kecil. Para pedagang yang bermula di emper Alun-alun dan depan Masjid Agung Garut itu, berkembang memadati halaman bioskop hingga terus melebar ke teras Gedung Nasional, yang letaknya bersebelahan.
Gedung megah masa lampau itu, kini populer sebagai Gedung KNPI. Di masa kepemimpinan Bupati Garut alm. R Gahara Widjaya Soeria, kegiatan pedagang kecil yang kian pesat itu dinilai berpotensi menghidupkan suasana Garut di waktu malam. Semua pedagang di depan Masjid Agung dan Gedung Nasional, lalu direlokasi ke badan Jl. Siliwangi. Mereka berpeluang menggelar kelangsungan usahanya setiap sore hingga jelang pagi.
Warga pedagang berlega hati, karena lokasi baru yang kemudian populer dengan nama Pasar Ceplak itu lebih strategis, dibandingkan dengan tempat semula. Bukan saja mendekatkan jarak ke Bioskop Odeon (Cikuray) dan dekat dijangkau dari Garden, namun juga sangat mendukung kehidupan padepokan seni tradisional sandiwara Sunda “Margaluyu” di seberang Kantor Pos & Giro. Keramaian pusat kota pun terbagi dengan beberapa sarana hiburan, termasuk Bioskop “Tjung Hwa” (Sumbersari) di sebelah timur.
Dalam perkembangannya kemudian, Garden yang berganti Bioskop Raya sampai 1967, pernah dikenal menjadi Bioskop Nasional hingga “Garut Theatre”, setelah mati suri selama 6 tahun. Riwayat bioskop ini berakhir di balik Gedung Kesenian “Bale Paminton Inten Dewata”. Ironisnya, gedung kesenian dambaan para seniman daerah itu, justru lebih cenderung menjadi gedung pernikahan bergengsi. Sungguh pun sarana hiburan rakyat di perkotaan Garut sudah sirna, keberadaan Pasar Ceplak, Kuliner di Garut Waktu Malam memang masih terus bertahan hingga kini, ternyata Pasar Ceplak masih melegenda.
“Riwayat bioskop ini berakhir di balik Gedung Kesenian “Bale Paminton Inten Dewata”. Ironisnya, gedung kesenian dambaan para seniman daerah itu, justru lebih cenderung menjadi gedung pernikahan bergengsi”
Legenda tua
Keramaian pasar malam yang mentradisi di Jl. Siliwangi, mampu merebut minat pengunjung. Sejak sore hingga malam, kawasan pasar PKL itu tiada surut dari arus konsumennnya. Kalau pun begitu, seirama derap penataan kota, Pasar Ceplak yang mengarungi zaman kejayaan Garut bergelar Kota Intan pun, pernah berulangkali menjalani relokasi. Pada 1986, masa kepemimpinan Bupati Garut H Taufik Hidayat, Pasar Ceplak dialihkan ke Jalan Gunung Payung.
Aksi keindahan kota dalam “Garut Geulis” (Gerakan Usaha Lingkungan Sehat), sebagai upaya menggosok citra Garut Kota Intan itu, membuat Pasar Ceplak harus diamankan dari suasana kesemrawutan pusat perkotaan. Namun pemindahan lokasi hanya berlangsung semusim lalu. Pasar legendaris Garut di waktu malam itu, tak mampu menarik masyarakat pengunjungnya. Bahkan, saat dialihkan ke Jl. Mandalagiri, Pasar Ceplak masih kehilangan daya-jualnya.
Sebenarnya, lokasi baru di Jl Mandalagiri berada di mulut gerbang pusat keramaian kota, yang populer disebut Pengkolan. Tetapi, pamor Pasar Ceplak tak pernah bersahabat di luar Jalan Siliwangi, yang berharga historisnya. Lokasi pasar malam itu seolah harus menapak jejak lamanya. Bukan tanpa alasan, jika kelangsungan Pasar Ceplak pun dikukuhkan dengan Perda No 2 tahun 1998, dan Perda No 7 tahun 2002, yang mengatur PKL di Jalan Siliwangi.
Kalaupun begitu, warga pedagang Pasar Ceplak pernah goyah, ketika SK Bupati Garut No 511/Kep.335.Diskoppas/2005 tertanggal 8 Desember 2005, diberlakukan. Lagi-lagi wajah Pasar Ceplak dianggap bermasalah dengan aksi penataan dan keindahan kota Garut. Pasar malam itu direlokasi ke Jl Pramuka, menempati lahan di depan Kantor Disperindag dan Gedung Pusat Pengkajian Islam Kab Garut. Bahkan disiapkan digelar di kawasan Lojji, sebelah lokasi IBC (Intan Bisnis Center).
Ternyata, fenomena Pasar Ceplak tetap menguat di lokasi semula. Umur keberadaannya masih memanjang, ibarat legenda tua dalam potret kehidupan Garut. di waktu malam. Hanya saja, Pasar Ceplak kekinian kehilangan atmosfer hari kemarin. Bukan saja karena tak ada lagi atraksi penjual obat bernuansa hiburan, atau tukang obral yang pandai menjual barang. Justru, Pasar Ceplak kehilangan tapak kenyamanan rekreasi. Arus lalulintas becak dan motor yang membelah deretan jongko, membuat pengunjung harus terburu-buru merapat. Kemacetan pun menyumbat mulut pasar malam itu.
Oleh : Rendy Hariyussani
Sumber : (Yoyo Dasriyo / wartawan senior di Garut )