Garut dan Wabah Sampar Tahun 1930

Pes dikatakan tak kalah berbahaya dari Covid-19, karena keadaan yang sama saat itu bahwa wabah tersebut telah merenggut kurang lebih 240.000 nyawa di seluruh pulau Jawa dan Garut merupakan salah satu klasternya pada 1930.

Jauh sebelum Covid-19 mewabah di Indonesia, ternyata pada saat jaman penjajahan Belanda, ada sebuah penyakit yang mewabah, yaitu penyakit sampar atau PES. Banyak daerah di Indonesia yang terkena dampak wabah tersebut. Tak terkecuali Garut.

FYI, Pes atau sampar adalah penyakit menular pada manusia yang disebabkan oleh enterobakteria Yersinia pestis (dinamai dari bakteriolog Prancis A.J.E. Yersin). Penyakit pes disebarkan oleh hewan pengerat (terutama tikus). Satu sampai tujuh hari setelah terpapar bakteri, gejala mirup flu itu berkembang. Gejala-gejala tersebut antara lain demam, sakit kepala , dan muntah, serta pembengkakan dan nyeri pada kelenjar getah bening , terjadi di area yang paling dekat dengan tempat bakteri masuk ke kulit. Kadang-kadang, pembengkakan kelenjar getah bening, yang dikenal sebagai ” buboes.

Pada awal mulanya, wabah ini dikira datang dari para jemaah haji yang baru pulang dari Mekkah. Ternyata penyakit ini datang dari beras yang diimpor dari Burma oleh Belanda. Catatan dari berbagai artikel, Penyakit menular yang bermula dari Jawa Timur pada 1910 itu terus melanda Jawa Tengah, masuk Cirebon, lalu Kuningan, kemudian akhirnya tiba juga di dataran tinggi Priangan. Termasuk Garut yang mulai di jangkiti wabah ini pada tahun 1928.

Pada 1932, korban sampar di Jawa Barat pun meningkat hingga tiga kali lipat. Untuk menanganinya, pemerintah kolonial menggencarkan metode ‘suntik mayat’ (the speen puncture) untuk memastikan adanya sampar, utamanya di Garut.

Namun, metode pemerintah kolonial ini mendapat penolakan dari masyarakat karena bertentangan dengan agama. Masyarakat pun lebih memilih menguburkan korban sampar secara sembunyi-sembunyi. Selain dengan suntik mayat, pemerintah kolonial juga melakukan perbaikan rumah, semata-mata untuk menutupi celah yang bisa menjadi sarang tikus–pembawa penyakit mematikan ini.

Bupati Garut Jadi ODP dan Meninggalnya Camat Garut Kota Setelah Kontak Dengan ODP

Mengganasnya wabah Pes (sampar) saat itu rupanya juga merenggut nyawa dari Raden Kanduruan Kertanegara yang saat itu menjabat sebagai Camat (kepala bagian kecamatan) wilayah Garut Kota. Raden Kanduruan Kertanegara terpapar penyakait tersebut setelah beraktifitas kedinasan dan berinteraksi langsung dengan Bupati Suria Karta Legawa.

Sebagai tindak lanjut atas temuan tersebut, bupati Garut menjadi orang dalam pantauan (ODP) selama sembilan hari, sehingga tidak boleh ke mana-mana. Kabar ini disampaikan oleh kantor berita Aneta pada 2 Mei 1933. Pada gilirannya, media-media lain baik yang terbit di Hindia Belanda serta Belanda, seperti De Indische courantHet VaderlandBredasche Courant, turut mengutipnya.

Bupati Garut R.T.M.M. Suria Karta Legawa

 Saat menjadi ODP sampar itu dia masih bergelar “Raden Tumenggung”, karena gelar “Aria” baru didapatkannya pada 1934 dan gelar “Adipati” pada 1938. Itu semua membuktikan bahwa R.T.M.M. Suria Karta Legawa selamat dari wabah mematikan tahun 1933.

Keadaan ini menyebabkan merebaknya kecemasan di kalangan penduduk Garut. Hal tersebut berkaitan dengan pengaruhnya terhadap ekonomi, politik, hiburan, serta aspek-aspek kehidupan lainnya. Ini misalnya terlihat dari sikap dua pemilik hotel selang beberapa minggu sebelum penetapan bupati Garut sebagai ODP. Sebagaimana diberitakan Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (6 April 1933), akibat publikasi wabah sampar di Garut, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungannya ke wilayah-wilayah pegunungan di kabupaten ini, sehingga tingkat kunjungannya berkurang 50%. Oleh karena itu, para pemilik hotel membuat petisi kepada pihak berwenang agar tidak ada lagi laporan-laporan yang mengganggu. Karena selama Maret 1933 tercatat di seluruh Garut ada 400 gangguan terjadi.

Beberapa minggu setelah bupati Garut jadi ODP, para pemilik hotel di Garut sebagaimana yang dikabarkan kantor berita Aneta, 23 Mei 1933, menyatakan mengalami kerugian besar akibat sampar yang sedang mewabah di Priangan Tengah. Namun, setelah mendapatkan keterangan dari dr. Zon, mereka menjadi tenang. Karena yang menyerang adalah sampar tikus yang tidak mempengaruhi hotel (De Indische courant, 26 Mei 1933).

Memang terjadi kegaduhan di berbagai koran. Pemimpin redaksi AID De Prengerbode Mr. C.W. Wormser melakukan kunjungan sehari ke Garut, untuk mengetahui perihal kehidupan desa-desa di Garut setelah wabah sampar menyebar serta penolakan penduduk terhadap suntik limpa, yang di kalangan penduduk dikenal sebagai suntik mayit. Laporan Wormser kemudian dimuat ulang dalam De Locomotief (26 Mei 1933) dengan tajuk “De Pest in het Regentschap Garoet”. Kemudian penolakan keras penduduk Garut terhadap suntik limpa juga ditulis oleh Mr. J. J. Mijs dalam AID de Preangerbode (27 Mei 1933). Demikian pula yang ditulis oleh H.C. Zentgraaf dalam Java Bode (29 Mei 1933) dan De Locomotief (30 Mei 1933) dengan tajuk “De Pest in Garoet”.

Atas pemberitaan pelbagai media, anggota Volksraad Oto Iskandar di Nata melayangkan surat kepada pemerintah kolonial yang berisi mengenai aturan pemakaman yang diajukan oleh Mr. J. J. Mijs, dan penyelidikan mengapa penduduk Garut melakukan penolakan keras terhadap suntik limpa, padahal di tempat lain tidak begitu heboh (De Locomotief, 31 Mei 1933). Pada hari yang sama, Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, meneruskan kabar dari Aneta perihal pemindahan kerja dr. Ramali dari Padang Sidempuan, Sumatra Utara, ke Batavia. Dokter tersebut dinilai mempunyai kemampuan dalam penanganan sampar yang berkaitan dengan isu keagamaan, terutama wabah di Garut. Untuk menanganinya, dokter tersebut terus melakukan surat-menyurat dengan Snouck Hurgronje, Hoesein Djajadiningrat dan para ulama di Jawa.

Dua bulan setelah itu, dalam tulisan bertajuk “Pest en Politiek” (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 5 Juli 1933) terungkap berbagai fakta menarik selama wabah sampar di Garut. Dalam tulisan tersebut, M menyatakan selama bulan Juni 1933 banyak acara yang (biasanya) digelar di Garut. Ada pasar malam antara 8-18 Juni, pembukaan bioskop pada 17 Juni setelah setahun tidak beroperasi, balap kuda pada 17 dan 18 Juni, Sirkus Harmston antara 19-21 Juni, ditambah pasar malam swasta yang dimulai pada 27 Juni. Dengan kenyataan-kenyataan tersebut wajar saja bila M mengaitkan antara wabah sampar yang sedang merebak dengan keputusan-keputusan politik untuk mengatur urusan publik.

Yang jelas, korban akibat wabah sampar di Garut pada tahun 1933 banyak berjatuhan. Dengan rata-rata per bulan ratusan orang. Ini bisa dilihat dari catatan-catatan koran sezaman sebagai berikut: Maret 1933 sebanyak 200 orang; 19 Agustus hingga 9 September 1933 ada 671 orang; 16 September hingga 7 Oktober 1933 ada 613 orang; kuartal ketiga tahun 1933 atau hingga 31 Oktober 1933 mencapai 2.199 orang; dan dari 14 Oktober hingga 4 November 1933 yang menjadi korban di Garut sebanyak 822 orang.

Bagaimana dengan nasib bupati Garut yang ODP sampar? Di atas sudah saya sebutkan bahwa R.T.M.M. Suria Karta Legawa selamat dari wabah sampar. Pada tahun 1933, saat korban akibat sampar di Garut mencapai 2.199 orang lebih, ia diangkat sebagai anggota Dewan Provinsi Jawa Barat (Provinciale Raad van West-Java). Saat itu, bersama R. Moehamad Enoch (Directeur Regentschapwerken te Bandoeng), Djoendjoenan Setiakoesoemah (Indisch arts te Bandoeng), R. Rg. Mohammad Soerianatanegara (Patih te Tjiamis), Suria Karta Legawa menjadi anggota dewan untuk Karesidenan Priangan (De Locomotief, 7 November 1933). (Sumber : Atep Kurnia/ Ayotasik.com)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

Pin It on Pinterest

Shares
Share This