Candi Cangkuang: Sebuah Candi di Tengah Danau

Papan Tulisan Candi Cangkuang di Gerbang Masuk Kawasan Candi

Gerbang Masuk Kawasan Candi Cangkuang (foto: Listya Dara)

Oleh : Listya Dara Sunda Prabawa
@daralistya

Garut memang terkenal dengan objek wisata alamnya yang indah. Tapi ternyata selain objek wisata alam, Garut juga mempunyai objek wisata berupa candi peninggalan kerajaan Hindu, yaitu Candi Cangkuang.

Objek wisata Candi Cangkuang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini ditemukan. Sementara nama ‘cangkuang’ sendiri diambil dari nama jenis pohon yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Pohon cangkuang (Pandanus furcatus) merupakan jenis pohon palem-paleman.

Lokasi candi dapat dijangkau dengan menggunakan motor, mobil, delman, maupun sepeda. Pemandangan yang dapat dilihat selama di perjalanan menuju candi berupa sawah dan pegunungan. Pemandangan yang sangat cocok untuk mengembalikan mood setelah penat beraktivitas. Sesampainya di kawasan Candi Cangkuang, kita harus membeli tiket di loket yang terletak di dekat pintu masuk. Tiket masuk Candi Cangkuang tergolong murah. Rp3.000,00 untuk dewasa dan Rp2.000,00 untuk anak-anak.

Rakit-rakit di Situ Cangkuang (foto: Listya Dara)

Rakit-rakit di Situ Cangkuang (foto: Listya Dara)

Berlibur ke Candi Cangkuang berarti mendapatkan bonus wisata tambahan karena kita tidak hanya mengunjungi sebuah candi. Sebelum mencapai lokasi candi kita harus melewati sebuat danau kecil atau ‘situ’ bernama Situ Cangkuang. Di tepi situ berjajar rakit-rakit yang siap mengantarkan kita menuju candi. Biaya pulang pergi naik rakit berkisar Rp4.000,00 per orang dengan kapasitas mencapai 25 orang. Perjalanan menyeberangi situ hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit.

Selain menyeberangi Situ Cangkuang, kita juga harus melewati sebuah perkampungan yang masih berada dalam kompleks candi. Ini bukan kampung biasa. Namanya Kampung Pulo. Uniknya kampung ini hanya terdiri dari 6 buah rumah dan 1 mesjid. Jumlah bangunan di Kampung Pulo tidak boleh berubah, begitu pun dengan jumlah keluarganya. Kampung Pulo hanya terdiri dari 6 kepala keluarga. Jadi jika ada anggota keluarga yang menikah, mereka harus segera pindah dari Kampung Pulo. Mereka baru bisa kembali ke Kampung Pulo jika ada satu keluarga yang meninggal dunia, itu pun tidak sembarangan orang bisa kembali tinggal di Kampung Pulo.

Salah Satu Rumah di Kampung Pulo (foto: Listya Dara)

Salah Satu Rumah di Kampung Pulo (foto: Listya Dara)

Setelah melewati Kampung Pulo, barulah kita sampai di Candi Cangkuang. Menurut sejarah, candi ini tidak sengaja ditemukan. Awalnya pada tahun 1966 tim peneliti yang dipimpin oleh Tjandrasasmita hanya mencari kuburan kuno dan arca sesuai dengan tulisan Vorderman di buku Notulen Bataviaasch Genotschap. Ternyata pada saat di lapangan, selain menemukan kuburan dan arca, tim juga menemukan reruntuhan bangunan. Setelah diteliti lebih lanjut tim menarik kesimpulan bahwa sisa reruntuhan berupa balok-balok batu ini dulunya adalah sebuah candi.

Sayangnya balok batu yang ada sudah banyak yang hilang. Tim melakukan pemugaran dan akhirnya berhasil membuat kembali candi berukuran 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 8,5 meter dan meletakkan arca siwa di bagian dalam candi. Berdasarkan umur reruntuhan yang ditemukan, Candi Cangkuang berdiri sekitar abad ke-8. Namun, belum diketahui candi merupakan peninggalan kerajaan apa, sebab tidak ditemukan prasasti di sekitar penemuan candi.

Di sebelah candi, berdiri kokoh sebuah kuburan kuno. Unik, dalam satu tempat berdiri dua buah benda bersejarah dari dua kepercayaan berbeda. Kuburan kuno ini adalah makam dari Arief Muhammad, seorang tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari kerajaan Mataram Kuno, Jawa Timur. Tujuan utama beliau datang ke daerah Garut adalah untuk menyerang VOC  dan menyebarkan agama Islam di daerah Desa Cangkuang.

Bukti perjuangan penyebaran agama Islam oleh Arief Muhammad masih tersimpan di museum kecil yang ada di dekat candi. Di dalam museum ini ada Al-Qur’an yang terbuat dari kulit kayu, naskah khotbah, buku ilmu fiqih, sisa reruntuhan candi, dan berbagai foto serta lukisan. Jika ingin tahu lebih banyak, kita bisa bertanya langsung kepada penjaga museum.

Waktu yang cocok untuk berkunjung ke Candi Cangkuang adalah pagi hari karena belum banyak kita yang datang. Namun, jika tidak sempat datang pagi hari, bisa memilih waktu lain karena candi akan tetap buka sampai sekitar pukul lima sore setiap harinya. Tidak perlu cemas dengan udara panas karena sekitar kompleks candi terlindungi oleh rindangnya pepohonan.

Selain aktivitas rutin pada siang hari, ada juga kegiatan di malam hari, terutama pada tanggal 14 Mulud (Rabiul Awal). Pada malam harinya akan diadakan acara memandikan benda pusaka di Kampung Pulo. Siapa pun bisa ikut dalam kegiatan ini dengan syarat mendaftar sebelum acara berlangsung.

Menarik, bukan? Candi Cangkuang bisa dimasukan ke daftar tempat yang harus dikunjungi saat berlibur di akhir pekan. Sambil berlibur, sambil belajar sejarah.

Sumber artikel:

***

Candi Cangkuang: Sebuah Candi di Tengah Danau
Oleh : Listya Dara Sunda Prabawa

Penulis adalah mojang Garut kelahiran ’93 lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung. Mojang Garut yang sedang merantau di Bandung ini  hobi membaca novel, berenang, membuat game edukasi, dan membuat buku anak.

Terima Kasih kepada saudari Listya Dara Sunda Prabawa (@daralistya) telah menjadi kontributor kami. Mari majukan pariwisata Garut!!!

Let’s visit Candi Cangkuang, Natural and Cultural Heritage

 



Dukung terus Jelajah Garut melalui usaha-usaha kecil yang kita jalankan:

Jelajah Garut Merchandise | Jelajah Garut Tour Organizer | Jelajah Garut Outdoor Gear Rental

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

Pin It on Pinterest

Shares
Share This